Proses Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
PROSES
PROKLAMASI KEMERDEKAAN
Kehancuran
Kota Hiroshima dan Nagasaki memukul perasaan bangsa Jepang. Akhirnya Jepang
memutuskan untuk mengakhiri perang dunia dengan melakukan penyerahan kepada Sekutu
tanpa syarat. Penyerahan Jepang kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 inilah
yang menandai berakhirnya Perang Dunia (PD) II.
Sejak
semakin terjepit dalam kekalahan, Jepang terpaksa memberi janji kemerdekaan kepada
bangsa Indonesia. Komando Tentara Jepang wilayah Selatan, pada bulan Juli 1945
menyepakati dan memberikan kemerdekaan Indonesia tanggal 7 September 1945.
Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang tugasnya melanjutkan pekerjaan BPUPKI yang diketuai oleh Ir. Sukarno dengan wakil Drs. Moh. Hatta.
Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jenderal Terauchi menyetujui pembentukan Dokuritsu Junbi Inkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang tugasnya melanjutkan pekerjaan BPUPKI yang diketuai oleh Ir. Sukarno dengan wakil Drs. Moh. Hatta.
Panitia
persiapan atau PPKI itu beranggotakan 21 orang dan semuanya orang Indonesia yang
berasal dari berbagai daerah.
Jawa 12 wakil
Wakil Sumatra 3 wakil
Sulawesi 2 wakil
Wakil Kalimantan 1 wakil
Wakil Sunda Kecil 1 wakil
Wakil Maluku 1 wakil
Wakil dan golongan penduduk Cina 1 wakil Jenderal Terauchi pada tanggal 9 Agustus 1945 memanggil Sukarno, Moh.Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat untuk pergi ke Dalat, Saigon. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jenderal Terauchi mengucapkan selamat kepada Sukarno dan Moh. Hatta sebagai ketua dan wakil ketua PPKI. Kemudian Terauchi menegaskan bahwa Jepang akan menyerahkan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Sukarno, Moh. Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat pulang kembali ke Jakarta pada tanggal 14 Agustus.
Jawa 12 wakil
Wakil Sumatra 3 wakil
Sulawesi 2 wakil
Wakil Kalimantan 1 wakil
Wakil Sunda Kecil 1 wakil
Wakil Maluku 1 wakil
Wakil dan golongan penduduk Cina 1 wakil Jenderal Terauchi pada tanggal 9 Agustus 1945 memanggil Sukarno, Moh.Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat untuk pergi ke Dalat, Saigon. Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jenderal Terauchi mengucapkan selamat kepada Sukarno dan Moh. Hatta sebagai ketua dan wakil ketua PPKI. Kemudian Terauchi menegaskan bahwa Jepang akan menyerahkan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Sukarno, Moh. Hatta, dan Rajiman Wedyodiningrat pulang kembali ke Jakarta pada tanggal 14 Agustus.
Hari-hari
menjelang tanggal 15 Agustus 1945 merupakan hari yang menegangkan bagi bangsa Jepang
dan bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, tanggal tersebut justru menjadi
kesempatan baik untuk mempercepat proklamasi kemerdekaan.
Inilah yang menjadi pemikiran utama para pemuda atau sering disebut Golongan Muda kaum pergerakan Indonesia. Para pemuda berpikir, bahwa menyerahnya Jepang kepada Sekutu, berarti di Indonesia sedang kosong kekuasaan. Proklamasi dipercepat adalah pilihan yang tepat.
Inilah yang menjadi pemikiran utama para pemuda atau sering disebut Golongan Muda kaum pergerakan Indonesia. Para pemuda berpikir, bahwa menyerahnya Jepang kepada Sekutu, berarti di Indonesia sedang kosong kekuasaan. Proklamasi dipercepat adalah pilihan yang tepat.
Sutan
Syahrir yang merupakan tokoh pemuda telah mengetahui berita penyerahan Jepang
kepada Sekutu dari siaran radio. Oleh karena itu, ia segera menemui Moh. Hatta
di kediamanya. Syahrir mendesak agar Sukarno dan Moh. Hatta segera memerdekakan
Indonesia. Namun, ternyata Sukarno dan Moh. Hatta belum bersedia, mereka akan
mengonfimasi terlebih dulu mengenai kebenaran berita tersebut.
Hari Rabu
tanggal 15 Agustus 1945 sekitar pukul 22.00 WIB, para pemuda yang dipimpin
Wikana, Sukarni, dan Darwis datang di rumah Sukarno di Pegangsaan Timur No. 56
Jakarta. Wikana dan Darwis memaksa Sukarno untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia.
Para pemuda mendesak agar proklamasi dilaksanakan paling lambat tanggal 16
Agustus 1945.
Para
pemuda gagal memaksa Sukarno dan golongan tua untuk segera memproklamasikan
kemerdekaan. Para pemuda malam itu sekitar pukul 24.00 tanggal 15 Agustus
mengadakan pertemuan di Jl Cikini 71 Jakarta. para pemuda yang hadir, antara
lain Sukarni, Yusuf Kunto, Chaerul Saleh, dan Shodanco Singgih. Mereka
sepakat untuk membawa Sukarno dan Moh. Hatta ke luar kota. Tujuannya, agar
kedua tokoh ini jauh dari pengaruh Jepang dan bersedia memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Para pemuda juga sepakat menunjuk Shodanco Singgih
untuk memimpin pelaksanaan rencana tersebut.
Singgih
secara singkat minta kesediaan Moh. Hatta untuk ikut ke luar kota. Moh. Hatta
menuruti kehendak para pemuda itu. Rombongan kemudian menuju ke rumah Sukarno.
Tiba di rumah Sukarno, Singgih meminta agar Sukarno ikut pergi ke luar kota
saat itu juga. Sukarno setuju, asal Fatmawati, Guntur (waktu itu berusia
sekitar delapan bulan) dan Moh. Hatta ikut serta.
Tanggal
16 Agustus sekitar pukul 04.00 pagi rombongan Sukarno, Moh. Hatta, dan para
pemuda menuju Rengasdengklok. Selain itu, juga ada hubungan baik antara Daidan
Peta Purwakarta dan Daidan Jakarta, sehingga dari segi keamanan terjamin. Pagi
hari rombongan Sukarno sampai di Rengasdengklok. Mereka ditempatkan di rumah Kie
Song yang simpati pada perjuangan bangsa Indonesia. Sehari di Rengasdengklok,
ternyata gagal memaksa Sukarno untuk menyatakan kemerdekaan Indonesia lepas
dari campur tangan Jepang.
Namun,
ada gelagat yang ditangkap oleh Singgih bahwa Sukarno bersedia memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia kalau sudah kembali ke Jakarta. Melihat tanda-tanda bahwa
Sukarno bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka sekitar pukul
10.00 bendera Merah Putih dikibarkan di halaman Kawedanan Rengasdengklok.Jakarta
berada dalam keadaan tegang karena tanggal 16 Agustus 1945 seharusnya diadakan
pertemuan PPKI, tetapi Sukarno dan Moh. Hatta tidak ada di tempat. Ahmad
Subarjo segera mencari kedua tokoh tersebut.
Akhirnya
setelah terjadi kesepakatan dengan Wikana, Ahmad Subarjo ditunjukkan dan
diantarkan ke Rengasdengklok oleh Yusuf Kunto. Ahmad Subarjo tiba di
Rengasdengklok pukul 17.30 WIB untuk menjemput Sukarno dan rombongan. Kecurigaan
pun menyelimuti perasaan para pemuda yang bertemu dengan Ahmad Subarjo.
Akhirnya
Ahmad Subarjo memberikan jaminan. Apabila besok (tanggal 17 Agustus) paling
lambat pukul 12.00, belum ada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, taruhannya
nyawa Ahmad Subarjo. Dengan jaminan itu, maka Shodanco Subeno mewakili
para pemuda mengizinkan Ir. Sukarno, Drs. Moh. Hatta, dan rombongan kembali ke
Jakarta. Petang itu juga Sukarno dan rombongan kembali ke Jakarta. Dengan
demikian berakhirlah peristiwa Rengasdengklok.
3. Perumusan Teks Proklamasi Hingga Pagi
Rombongan kemudian menuju kediaman Nishimura di Jakarta. Kepada Nishimura, Sukarno menyampaikan rencana rapat persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia. Nishimura menolak memberi bantuan dengan alasan sudah mendapat perintah dari pihak Serikat untuk tidak mengubah status dan keadaan di Indonesia. Dengan jawaban tersebut Sukarno berkesimpulan bahwa tidak mungkin lagi mengharap bantuan Jepang.Rombongan Sukarno segera kembali ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1.
3. Perumusan Teks Proklamasi Hingga Pagi
Rombongan kemudian menuju kediaman Nishimura di Jakarta. Kepada Nishimura, Sukarno menyampaikan rencana rapat persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia. Nishimura menolak memberi bantuan dengan alasan sudah mendapat perintah dari pihak Serikat untuk tidak mengubah status dan keadaan di Indonesia. Dengan jawaban tersebut Sukarno berkesimpulan bahwa tidak mungkin lagi mengharap bantuan Jepang.Rombongan Sukarno segera kembali ke rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol No. 1.
Para
tokohtokoh nasionalis berkumpul di rumah Maeda untuk merumuskan teks
proklamasi. Di rumah Maeda, hadir para anggota PPKI, para pemimpin pemuda, para
pemimpin pergerakan, dan beberapa anggota Chuo Sangi In yang ada di
Jakarta.
Mereka berjumlah 40 - 50 orang. Rumah Laksamana Maeda itud ianggap aman dari kemungkinan gangguan yang sewenang-wenang dari anggota-anggota Rikugun (AngkatanDaratJepang/Kampeitai) yang hendak menggagalkan usaha bangsa Indonesia untuk mengumumkan Proklamasi Kemerdekaannya.
Oleh karena Laksamana Maeda adalah Kepala Perwakilan Kaigun, maka rumahnya merupakan extra-territorial, yang harus dihormati oleh Rikugun.
Mereka berjumlah 40 - 50 orang. Rumah Laksamana Maeda itud ianggap aman dari kemungkinan gangguan yang sewenang-wenang dari anggota-anggota Rikugun (AngkatanDaratJepang/Kampeitai) yang hendak menggagalkan usaha bangsa Indonesia untuk mengumumkan Proklamasi Kemerdekaannya.
Oleh karena Laksamana Maeda adalah Kepala Perwakilan Kaigun, maka rumahnya merupakan extra-territorial, yang harus dihormati oleh Rikugun.
Selain
itu, Laksamana Maeda sendiri memiliki hubungan yang akrab dengan para pemimpin
bangsa Indonesia, dan Maeda juga simpatik terhadap gerakan kemerdekaan
Indonesia, maka rumah beliau direlakan menjadi tempat pertemuan para pemimpin
bangsa Indonesia untuk berunding dan merumuskan naskah/teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia.
Setelah tiba di Jl. Imam Bonjol No. 1, lalu Sukarno dan Moh. Hatta diantarkan Laksamana Maeda menemui Gunseikan Mayor Jenderal Hoichi Yamamoto (Kepala Pemerintahan Militer Jepang). Akan tetapi Gunseikan menolak menerima Sukarno-Hatta pada tengah malam. Dengan ditemani oleh Maeda, Shigetada Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penterjemah, mereka pergi menemui Somubuco Mayor Jenderal Otoshi Nishimura (Direktur/Kepala Departemen Umum Pemerintahan Militer Jepang), dengan maksud untuk menjajaki sikapnya terhadap pelaksanaan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada pertemuan tersebut tidak dicapai kata sepakat antara Sukarno-Hatta di satu pihak dengan Nishimura di lain pihak. Di satu pihak SukarnoHatta bertekad untuk melangsungkan rapat PPKI yang pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945 itu tidak jadi diadakan karena mereka dibawa ke Rengasdengklok. Mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jenderal Besar Terauchi telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kepada PPKI. Di lain pihak Nishimura menegaskan garis kebijakan Panglima Tentara ke-XVI di Jawa, bahwa dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo.
Berdasarkan garis kebijaksanaan itu, Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Mereka hanya berharap pihak Jepang supaya tidak menghalanghalangi pelaksanaan Proklamasi oleh rakyat Indonesia sendiri.
Setelah pertemuan itu, Sukarno dan Hatta kembali ke rumah Maeda. Setelah berbicara sebentar dengan Sukarno, Moh. Hatta dan Ahmad Subarjo, Laksamana Maeda minta diri untuk beristirahat dan mempersilakan para pemimpin Indonesia berunding sampai puas di rumahnya. Di ruang makan Maeda, dirumuskanlah naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ketika peristiwa itu berlangsung Maeda tidak hadir, tetapi Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subarjo membahas perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Setelah tiba di Jl. Imam Bonjol No. 1, lalu Sukarno dan Moh. Hatta diantarkan Laksamana Maeda menemui Gunseikan Mayor Jenderal Hoichi Yamamoto (Kepala Pemerintahan Militer Jepang). Akan tetapi Gunseikan menolak menerima Sukarno-Hatta pada tengah malam. Dengan ditemani oleh Maeda, Shigetada Nishijima dan Tomegoro Yoshizumi serta Miyoshi sebagai penterjemah, mereka pergi menemui Somubuco Mayor Jenderal Otoshi Nishimura (Direktur/Kepala Departemen Umum Pemerintahan Militer Jepang), dengan maksud untuk menjajaki sikapnya terhadap pelaksanaan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada pertemuan tersebut tidak dicapai kata sepakat antara Sukarno-Hatta di satu pihak dengan Nishimura di lain pihak. Di satu pihak SukarnoHatta bertekad untuk melangsungkan rapat PPKI yang pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945 itu tidak jadi diadakan karena mereka dibawa ke Rengasdengklok. Mereka menekankan kepada Nishimura bahwa Jenderal Besar Terauchi telah menyerahkan pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia kepada PPKI. Di lain pihak Nishimura menegaskan garis kebijakan Panglima Tentara ke-XVI di Jawa, bahwa dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu berlaku ketentuan bahwa tentara Jepang tidak diperbolehkan lagi mengubah status quo.
Berdasarkan garis kebijaksanaan itu, Nishimura melarang Sukarno-Hatta untuk mengadakan rapat PPKI dalam rangka pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan. Sampailah Sukarno-Hatta pada kesimpulan bahwa tidak ada gunanya lagi untuk membicarakan soal kemerdekaan Indonesia dengan pihak Jepang. Mereka hanya berharap pihak Jepang supaya tidak menghalanghalangi pelaksanaan Proklamasi oleh rakyat Indonesia sendiri.
Setelah pertemuan itu, Sukarno dan Hatta kembali ke rumah Maeda. Setelah berbicara sebentar dengan Sukarno, Moh. Hatta dan Ahmad Subarjo, Laksamana Maeda minta diri untuk beristirahat dan mempersilakan para pemimpin Indonesia berunding sampai puas di rumahnya. Di ruang makan Maeda, dirumuskanlah naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ketika peristiwa itu berlangsung Maeda tidak hadir, tetapi Miyoshi sebagai orang kepercayaan Nishimura bersama Sukarni, Sudiro, dan B.M. Diah menyaksikan Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subarjo membahas perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Sukarno
pertama kali menuliskan kata pernyataan “Proklamasi”. Sukarno kemudian bertanya
kepada Moh. Hatta dan Ahmad Subarjo.“Bagaimana bunyi rancangan pada draf
pembukaan UUD? Kedua orang yang ditanya pun tidak ingat persis. Ahmad Subarjo
kemudian menyampaikan kalimat “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan
kemerdekaan Indonesia”. Moh. Hatta menambahkan kalimat: “Hal-hal yang mengenai
pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan
dalam tempoh yang sesingkat-singkatnya”. Sukarno menuliskan, “Jakarta, 17-8- ’05
Wakil-wakil bangsa Indonesia”, sebagai penutup.
Pukul
04.00 WIB dini hari, Sukarno minta persetujuan dan minta tanda tangan kepada
semua yang hadir sebagai wakil-wakil bangsa Indonesia. Para pemuda menolak
dengan alasan sebagian yang hadir banyak yang menjadi kolaborator Jepang.
Sukarni mengusulkan agar teks proklamasi cukup ditandatangani dua orang tokoh,
yakni Sukarno dan Moh. Hatta, atas nama bangsa Indonesia. Usul Sukarni
diterima. Dengan beberapa perubahan yang telah disetujui, maka konsep itu
kemudian diserahkan kepada Sayuti Melik
untuk diketik.
Berikut naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, baik yang ditulis oleh Sukarno maupun yang diketik oleh Sayuti Melik.
Rumusan Naskah Proklamasi yang ditulis oleh Sukarno:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan
tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-‘05
Wakil-2 bangsa Indonesia
Keterangan: kalimat pertama merupakan saran Ahmad Subarjo yang diambil
dari Piagam Jakarta. Sedangkan kalimat kedua merupakan sumbangan
pikiran Hatta, karena beliau menganggap kalimat pertama hanyalah
merupakan pernyataan dari kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya
sendiri. Menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai
pengalihan kekuasaan.
Naskah Proklamasi yang sudah diketik oleh Sayuti Melik:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05
Atas nama bangsa Indonesia
Sukarno-Hatta
(tandatangan Sukarno)
(tandatangan Hatta)
Demikian pertemuan dini hari itu menghasilkan naskah Proklamasi. Agar seluruh rakyat Indonesia mengetahuinya, naskah itu harus disebarluaskan. Timbullah persoalan tentang bagaimana caranya naskah tersebut disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Sukarni mengusulkan agar naskah tersebut dibacakan di Lapangan Ikada, yang telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah
Proklamasi. Tetapi Sukarno tidak setuju, karena tempat itu adalah tempat umum yang dapat memancing bentrokan antara rakyat dengan militer Jepang. Beliau sendiri mengusulkan agar Proklamasi dilakukan di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No.56. Usul tersebut disetujui dan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakannya bersama Hatta di tempat itu pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 di tengah-tengah bulan Ramadhan (bulan Puasa).
4. Pembacaan Proklamasi Pukul 10.00 Pagi
Pada pukul 5 pagi tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin dan pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda dengan diliputi kebanggaan. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan di rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10 pagi. Sebelum pulang, Moh. Hatta berpesan kepada B.M. Diah untuk memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.
Sementara itu, para pemuda tidak langsung pulang, mereka melakukan kegiatan-kegiatan untuk penyelenggaraan pembacaan naskah Proklamasi. Masing-masing kelompok pemuda mengirim kurir untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa saat Proklamasi telah tiba. Semua alat komunikasi digunakan untuk penyambutan Proklamasi. Pamflet, pengeras suara, dan mobil-mobil dikerahkan ke segenap penjuru kota.
Pada pagi hari itu juga, rumah Sukarno dipadati oleh sejumlah massa. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan Proklamasi, dr. Muwardi meminta Latief Hendraningrat beserta beberapa anak buahnya untuk berjagajaga di sekitar rumah Sukarno. Sementara itu, Walikota Jakarta, Suwiryo memerintahkan kepada Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk menyiapkan tiang bendera. S. Suhud mendapatkan bendera Merah Putih dari Ibu Fatmawati. Bendera dijahit Ibu Fatmawati sendiri dan ukurannya sangat besar (tidak standar). Bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati dikenal dengan bendera pusaka. Sejak tahun 1969 tidak lagi dikibarkan dan diganti dengan bendera duplikat.
Sejak pagi hari, sudah banyak orang berdatangan di rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Tokoh-tokoh yang sudah hadir, antara lain Mr. A. A. Maramis, dr. Buntaran Martoatmojo, Mr. Latuharhary, Abikusno Cokrosuyoso, Otto Iskandardinata, Ki Hajar Dewantoro, Sam Ratulangie, Sartono, Sayuti Melik, Pandu Kartawiguna, M. Tabrani, dr. Muwardi, Ny. SK. Trimurti, dan AG. Pringgodigdo. Diperkirakan yang hadir pada pagi itu seluruhnya ada 1.000 orang.
Acara yang direncanakan pada upacara bersejarah itu adalah; pertama pembacaan teks proklamasi; kedua, pengibaran bendera Merah Putih; dan ketiga, sambutan walikota Suwiryo dan dr. Muwardi dari keamanan. Hari Jumat Legi, tepat pukul 10.00 WIB, Sukarno dan Moh. Hatta keluar ke
serambi depan, diikuti oleh Ibu Fatmawati. Sukarno dan Moh. Hatta maju beberapa langkah. Sukarno mendekati mikrofon untuk membacakan teks proklamasi. Acara berikutnya adalah pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat dan S. Suhud. Bersamaan dengan naiknya bendera Merah Putih, para hadirin secara spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa ada yang memimpin.
untuk diketik.
Berikut naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, baik yang ditulis oleh Sukarno maupun yang diketik oleh Sayuti Melik.
Rumusan Naskah Proklamasi yang ditulis oleh Sukarno:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-2 jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan
tjara seksama dan dalam tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17-8-‘05
Wakil-2 bangsa Indonesia
Keterangan: kalimat pertama merupakan saran Ahmad Subarjo yang diambil
dari Piagam Jakarta. Sedangkan kalimat kedua merupakan sumbangan
pikiran Hatta, karena beliau menganggap kalimat pertama hanyalah
merupakan pernyataan dari kemauan bangsa untuk menentukan nasibnya
sendiri. Menurut pendapatnya perlu ditambahkan pernyataan mengenai
pengalihan kekuasaan.
Naskah Proklamasi yang sudah diketik oleh Sayuti Melik:
PROKLAMASI
Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen ‘05
Atas nama bangsa Indonesia
Sukarno-Hatta
(tandatangan Sukarno)
(tandatangan Hatta)
Demikian pertemuan dini hari itu menghasilkan naskah Proklamasi. Agar seluruh rakyat Indonesia mengetahuinya, naskah itu harus disebarluaskan. Timbullah persoalan tentang bagaimana caranya naskah tersebut disebarluaskan ke seluruh Indonesia. Sukarni mengusulkan agar naskah tersebut dibacakan di Lapangan Ikada, yang telah dipersiapkan bagi berkumpulnya masyarakat Jakarta untuk mendengar pembacaan naskah
Proklamasi. Tetapi Sukarno tidak setuju, karena tempat itu adalah tempat umum yang dapat memancing bentrokan antara rakyat dengan militer Jepang. Beliau sendiri mengusulkan agar Proklamasi dilakukan di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No.56. Usul tersebut disetujui dan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakannya bersama Hatta di tempat itu pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 di tengah-tengah bulan Ramadhan (bulan Puasa).
4. Pembacaan Proklamasi Pukul 10.00 Pagi
Pada pukul 5 pagi tanggal 17 Agustus 1945, para pemimpin dan pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda dengan diliputi kebanggaan. Mereka telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan di rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10 pagi. Sebelum pulang, Moh. Hatta berpesan kepada B.M. Diah untuk memperbanyak teks Proklamasi dan menyiarkannya ke seluruh dunia.
Sementara itu, para pemuda tidak langsung pulang, mereka melakukan kegiatan-kegiatan untuk penyelenggaraan pembacaan naskah Proklamasi. Masing-masing kelompok pemuda mengirim kurir untuk memberitahukan kepada masyarakat bahwa saat Proklamasi telah tiba. Semua alat komunikasi digunakan untuk penyambutan Proklamasi. Pamflet, pengeras suara, dan mobil-mobil dikerahkan ke segenap penjuru kota.
Pada pagi hari itu juga, rumah Sukarno dipadati oleh sejumlah massa. Untuk menjaga keamanan upacara pembacaan Proklamasi, dr. Muwardi meminta Latief Hendraningrat beserta beberapa anak buahnya untuk berjagajaga di sekitar rumah Sukarno. Sementara itu, Walikota Jakarta, Suwiryo memerintahkan kepada Wilopo untuk mempersiapkan peralatan yang diperlukan seperti mikrofon. Sedangkan Sudiro memerintahkan kepada S. Suhud untuk menyiapkan tiang bendera. S. Suhud mendapatkan bendera Merah Putih dari Ibu Fatmawati. Bendera dijahit Ibu Fatmawati sendiri dan ukurannya sangat besar (tidak standar). Bendera Merah Putih yang dijahit Fatmawati dikenal dengan bendera pusaka. Sejak tahun 1969 tidak lagi dikibarkan dan diganti dengan bendera duplikat.
Sejak pagi hari, sudah banyak orang berdatangan di rumah Sukarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56. Tokoh-tokoh yang sudah hadir, antara lain Mr. A. A. Maramis, dr. Buntaran Martoatmojo, Mr. Latuharhary, Abikusno Cokrosuyoso, Otto Iskandardinata, Ki Hajar Dewantoro, Sam Ratulangie, Sartono, Sayuti Melik, Pandu Kartawiguna, M. Tabrani, dr. Muwardi, Ny. SK. Trimurti, dan AG. Pringgodigdo. Diperkirakan yang hadir pada pagi itu seluruhnya ada 1.000 orang.
Acara yang direncanakan pada upacara bersejarah itu adalah; pertama pembacaan teks proklamasi; kedua, pengibaran bendera Merah Putih; dan ketiga, sambutan walikota Suwiryo dan dr. Muwardi dari keamanan. Hari Jumat Legi, tepat pukul 10.00 WIB, Sukarno dan Moh. Hatta keluar ke
serambi depan, diikuti oleh Ibu Fatmawati. Sukarno dan Moh. Hatta maju beberapa langkah. Sukarno mendekati mikrofon untuk membacakan teks proklamasi. Acara berikutnya adalah pengibaran bendera Merah Putih yang dilakukan oleh Latief Hendraningrat dan S. Suhud. Bersamaan dengan naiknya bendera Merah Putih, para hadirin secara spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa ada yang memimpin.
Setelah
itu, Suwiryo memberikan sambutan dan kemudian disusul sambutan dr. Muwardi.
Sekitar pukul 11.00 WIB, upacara telah selesai. Kemudian dr. Muwardi menunjuk
beberapa anggota Barisan Pelopor untuk menjaga keselamatan Sukarno dan Moh.
Hatta.
Komentar
Posting Komentar