PROGRAM P4 DAN DWIFUNGSI ABRI
1. Program P4
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (disingkat P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa adalah sebuah panduan tentang pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara semasa Orde Baru. Panduan P4 dibentuk dengan Ketetapan MPR no. II/MPR/1978. Ketetapan MPR no. II/MPR/1978tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi pelaksanaan Pancasila. Saat ini produk hukum ini tidak berlaku lagi karena Ketetapan MPR no. II/MPR/1978 telah dicabut dengan Ketetapan MPR no XVIII/MPR/1998 dan termasuk dalam kelompok Ketetapan MPR yang sudah bersifat final atau selesai dilaksanakan menurut Ketetapan MPR no. I/MPR/2003
Dalam perjalanannya 36 butir pancasila dikembangkan lagi menjadi 45 butir oleh BP7. Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
Namun, dalam prakteknya ada beberapa faktor kendala yang menjadikan pelaksanaan P4 di Indonesia menuai kegagalan, diantaranya:
IDEPOLEKSOBUDHANKAMNAS hanya memasukkan unsur-unsur dan kepentingan kelompok/pribadi, sehingga penyimpangan dalam penjabaran P4 tersebut.
Soeharto dan kroninya mulai terkena kasus KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yang membuat rakyat tak lagi percaya dengan P4 yang dianggap sebagai alat pelanggeng kekuasaan semata.
Munculnya wacana kritis di benak pemuda, hingga lengsernya Soeharto.
Merebaknya isu demokrasi dimana-mana, yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah otoriter yang dianggap melanggengkan kekuasaannya semata. Dan, tak lagi mengindahkan penderitaan rakyat. Pun, pembangunan yang ada belakangan diketahui bersumber dari utang negara kepada IMF yang memang lintah darat.
2. Dwifungsi ABRI
Setelah reformasi 1998, konsep dan implementasi Dwi Fungsi ABRI dikritik habis-habisan dan akhirnya “dicabut”.
Padahal, di masa Orde Baru, konsep ini sepenuhnya dilaksanakan, walaupun implementasinya dinilai kelewatan ketimbang konsep awalnya.
Sebutlah: hampir semua pejabat daerah dikuasai oleh perwira TNI, adanya kursi TNI di DPR hingga di kursi menteri, serta di perusahaan-perusahaan.
Padahal, menurut mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution, yang juga dikenal sebagai konseptor “Dwi Fungsi ABRI”, konsep “jalan tengah ABRI” itu intinya “peran ABRI... sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan peran yang sifatnya non-militer (sosial dan politik)”.
“Pikiran saya cuma satu, kita perlu mengadakan kerja sama. Kita menganggap kekuatan diri kita juga adalah kekuatan politik,” kata AH Nasution, dalam buku Jenderal tanpa pasukan, politisi tanpa partai, perjalanan hidup AH Nasution (1998).
Karena ada rekayasa politik, partai-partai tidak punya pembina di tingkat bawah. Tapi Golkar sampai memiliki anggota yang jadi kepala desa. ABRI sampai ke Babinsa... Ini namanya permainan.
Karena itulah, dia mengaku kaget dengan penerapan “jalan tengah” ABRI di masa Orde Baru, yang ditandai antara lain “banyaknya orang-orang militer yang ditempatkan di berbagai perusahaan.
Baginya, penempatan itu tidak tercakup dalam pemahaman Dwifungsi.
Lebih lanjut, Nasution mengatakan, konsep Dwifungsi sekarang (saat Orde Baru) telah bergeser.
Menurut mantan Gubernur Lembahanas Letjen (purnawirawan) Hasnan Habib, dalam wawancara dengan harian NUSA (20 September 1999), pelaksanaan konsep Dwi Fungsi ABRI dalam perjalanannya mengalami “pelencengan”.
“Karena ada rekayasa politik, partai-partai tidak punya pembina di tingkat bawah. Tapi Golkar sampai memiliki anggota yang jadi kepala desa. ABRI sampai ke Babinsa... Ini namanya permainan,” kata Hasnan Habib, saat itu.
Kelebihan Dwi Fungsi ABRI:
1. Kesejahteraan prajurit ABRI
meningkat. Pada masa Orde Baru, ABRI mngendalikan yayasan dan perusahaan. Penghasilan dari yayasan dan perusahaan ini disalurkan untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan prajurit ABRI. Pada masa Orde Baru, gaji pegawai pemerintah, termasuk gaji anggota ABRI sangat rendah, sehingga mereka harus mencari pendapatan tambahan.
2. Para prajurit ABRI ikut berkontribusi dalam pembangunan. Para prajurit dimobilisasi dalam kegiatan seperti ABRI Masuk Desa, untuk melakukan kegiatan pembangunan seperti perbaikan
jalan hingga mendirikan sarana kesehatan.
Kelemahan Dwi Fungsi ABRI:
1. Terjadi dominasi oleh ABRI
terhadap masyarakat sipil
Pada masa Orde Baru, akibat dominasi ABRI, sangat banyak jabatan penting di Indonesia, seperti
walikota, bupati dan gubernur iisi oleh para prajurit maupun purnawirawan ABRI. Akibatnya, peluang dan aspirasi politis masyarakat sipil menjadi terhambat.
2. ABRI menjadi alat politik praktis
Dengan Dwi Fungsi ABRI, di MPR dan DPR terdapat anggota dewan dan majlis yang ditunjuk oleh ABRI. Bersama dengan para kepala daerah yang berasal dari ABRI, mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan dari Presiden Soeharto. Akibatnya, setelah pemerintahan Soeharto tumbang, keberadaan Fraksi ABRI dan anggota MPR/DPR dari ABRI dihapuskan.
Komentar
Posting Komentar